PESAN PENYUSUN: Gunakan literatur ini untuk memperkaya bahasan karya ilmiah/makalah kamu sesuai dengan ketentuan ilmu ilmiah yang berlaku. UNTUK KARYA ILMIAH JANGAN COPAS doank!
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi
Lapangan penyelidikan kefilsafatan
yang paling kuno adalah Ontologi sebab persoalan paling awal dalam permulaan
pemikiran Yunani adalah pemikiran di bidang Ontologi. Pemikiran paling tua
dalam kaitannya dengan Ontologi adalah pemikiran Thales atas air yang adalah
merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu[2].
Kata Ontologi berasal dari perkataan
Yunani[3] : On = being,
danlogos = logic. Jadi Ontologi adalah the theory of being qua
being (theoritentang keberadaan sebagai keberadaan) atau sebagaimana
disebutkan oleh Louis O. Kattsoff dalam Element of Filosophy menyatakan
bahwa, Ontologi itu mencari ultimate reality sebagaimana yang
dilakukan oleh Thales yang menyatakan bahwa, asal mula semua benda hanya satu
saja yaitu air. Pendapat lain menyebutkan bahwa Ontologi berasal dari kataOntos yang
artinya adalah sesuatu yang berwujud dan logos adalah ilmu.
Jadi Ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Dari beberapa penjelasan tersebut di
atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya berbicara tentang
Ontologi adalah berbicara tentang hakikat ataupun kenyataan (realita) sesuatu
yang ada, baik yang jasmani maupun yang rohani. Hanya saja yang menjadi
persoalan adalah pembicaraan tentang hakikat ataupun kenyataan (realita)
sesuatu sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada.
Hakikat adalah realitas; realitas adalah ke-real-an. Riil artinya
kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya tentang
sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan
kenyataan yang berubah.
Dari pembahasan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa obyek formal dari Ontologi adalah hakikat seluruh realita.
Untuk melihat hakikat realitas, Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir menyatkan bahwa ada
dua pendekatan yang dilakukan oleh para Filoshop, yaitu:
1. Pendekatan
Kuantitatif. Pendekatan Kuantitatif ini realitas tampil dalam kuantitas atau
jumlah. Dalam hal ini telaahnya akan menjadi sebagai berikut[4]:
a. Monoisme, Paham ini menganggap bahwa hakikat
yang asal dari seluruh kenyataan itu adalah satu saja, tidak mungkin dua.
Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi
ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan
berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan
menentukan perkembangan yang lainnya. Paham ini kemudian terbagi kedalam dua
aliran :
¥ Materialisme, aliran ini menganggap bahwa
sumber yang asli itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini sering juga
disebut dengan naturalisme.
¥ Idealisme, idelisme diambil dari kata “idea”,
yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat
kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis
dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau
zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani.
b. Paralelisme/Dualisme, paham paralelisme/dualisme
menyatakan bahwa hakikat yang ada itu ada dua. Aliran ini berpendapat bahwa
benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat
materi dan hakikat ruhani.
c. Pluralisme, Paham ini berpandangan bahwa
segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan
dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme
dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai
paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur,
lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah
Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu
terbentuk dan terdiri atas 4 unsur, yaitu tanah, air, api dan udara.
Tokoh modern aliran ini adalah
William James (1842-1910 M), lahir di New York dan terkenal sebagai
seorang pshikolog dan filosof Amerika. James mengatakan bahwa, tiada kebenaran
yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang sendiri-sendiri,
lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala
yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah,
karena dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tiada kebenaran yang mutlak, yang ada
adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam pengaalaman-pengalaman
yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
2. Pendekatan Kualitatif. Pendekatan
ini, realitas akan tampil tidak dalam bentuk jumlah, tetapi dalam bentuk
kualitas. Pendekatan ini melahirkan aliran-aliran sebagai berikut :
a. Materialisme,
Aliran Materialisme, bahwa zat mati
merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang
lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri.
Jiwa atau ruh itu hanyalah merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran
dengan salah satu cara tertentu. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Bapak
Filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air
karena pentingnya air bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat
bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa udara adalah merupakan
sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat
alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat
halus. Atom-atom inilah yang merupakan asal kejadian alam.
b. Idealisme
Aliran Idealisme atau disebut juga
aliran spritualisme sebagai lawan dari aliran materialisme adalah
satu aliran yang berpandangan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu
semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak
terbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari
pada penjelmaan ruhani. Alasan aliran ini menyatakan bahwa hakikat benda adalah
ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
Nilai ruh lebih tinggi daripada
badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Ruh dianggap
sebagai hakikat yang sebenarnya, sedangkan materi hanyalah badannya, bayangan
atau penjelamaan. Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar
dirinya. Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada,
yang ada energi itu saja.
Pandangan ini dipelopori oleh Plato
(428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti
ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Lainnya, ada Aristoteles
(348-322 SM) yang memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang
menggambarkan alam ide itu sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda-benda
itu sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu. Pada Filsafat
Modern, pandangan ini dapat dilihat pada Geoge Berkeley (1685-1753 M) yang
menyatakan obyek-obyek fisis adalah ide-ide. Kemudian Immanuel Kant (1724-1804
M), Fichte (1762-1814 M), Hegel (1770-1831 M), dan Schelling (1775-1854 M).
c. Naturalisme
Paham ini menolak yang ada yang
supernatural, menolak yang mental, dan menolak universal platonik. Sejak tahun
1960 sebagaimana disebutkan oleh Noeng Muhadjir, banyak karya ontologi yang
dipengaruhi oleh filosof naturalist, Williard Van Orman Quine.
d. Hylomorphisme
Paham Hylomorphisme diketengahkan
pertama kali oleh Aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam
tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya dipahami sebagai upaya mencari
alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme
dari mental.
e. Nihilisme
Nihilisme berasal darti bahasa latin
yaitu nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak
mengakui validitas alternatif yang positif. Doktrin tentang Nihilisme telah
ada sejak zaman Yunani Kuno oleh Gorgias (483-360 SM) yang memberikan tiga
proposisi tentang realitas.Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis.
Realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua, Bila sesuatu itu ada, ia
tidak dapat diketahui, sebab penginderaan itu tidak dapat dipercaya.
Penginderaan adalah suatu illusi.Ketiga, sekalipun realitas itu dapat
kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahu kepada orang lain. Tokoh
sentralnya adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M) dengan teori monumentalnya
dalam dunia Kristiani : Tuhan sudah mati?.
f. Agnotisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan
manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat
ruhani. Aliran ini dengan tegas menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang
bersifattrancendent. Tokohnya antara lain adalah Soren Kierkegaar,
Heidegger, Sarter, dan Jaspers.
B. Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang
filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan
manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature,
methods and limits of human knowledge).Epistemologi juga disebut teori
pengetahuan (theory of knowledge). berasal dari kata Yunani episteme, yang
berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilrniah”,
dan logos = teori. Epistemologi dapat didefmisikan sebagai
cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan
sahnya (validitas) pengetahuan. Persoalan-persoalan dalam
epistemologi adalah[5]:
1) Apakah pengetahuan itu ?
2) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu ?
3) Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh ?
4) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai ?
5) Apa perbedaan antara
pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan
pengetahuan a posteriori (pengetahuan puma pengalaman) ?
6) Apa perbedaan di antara:
kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan,
gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian?
Langkah dalam epistemologi ilmu
antara lain berpikir deduktif dan induk-tif Berpikir deduktif
memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten
dengan pengetahuan yang telah dikurnpulkan sebelumnya Secara sistematik dan
kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyusun
argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada.
Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang
rasional kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.
Hal yang hampir sama dikemukakan oleh
Amsal Bakhtiar yang menyatakan bahwa Epistemologi atau teori pengetahuan ialah
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Yang menjadi persoalan
sekarang adalah bagaimana cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itu dan
bagaimana melakukan pembenaran terhadapnya. Teori yang menjelaskan kebenaran
epistemologis adalah sebagai berikut[6]:
Ø Pertama ialah teori
korespodensi.
Paham yang mengatakan bahwa suatu pernyataan itu benar, jika makna yang
dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya. Kebenaran atau keadaan benar
berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang
dimaksudkan oleh sustu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan
halnya atau apa yang merupakan fakta-faktanya.
Penganut paham korespondensi berpendapat bahwa semua pengetahuan dan
pembenaran yang diyakini itu sepenuhnya berlandaskan pada pengetahuan dan
pembenaran noninferensial. Maksudnya : Pembenaran hari ini turun hujan
dimaksudkan hanya membenarkan turun hujan; tetapi tidak ada maksud meramalkan
bahwa hari lain dengan kondisi yang sama akan juga turun hujan.
Ø Kedua teori koherentisisme
Paham yang mengatakan suatu proposisi cenderung benar jika proposisi
tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi yang lain
yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan
dengan pengalaman kita.
Penganut paham koherentisisme yang memandang bahwa yang diyakini itu tidak
akan terlepas dari lingkaran dari semua yang diyakini. Yang diyakininya :
tampilan kaya akan dihormati. Jajan di warung Tegal tak mau. Dikenal orang
miskin tak mau, malu dikira miskin pula. Menurut teori ini sesuatu yang
diyakini itu tidak terlepas dari keseluruhan sistem yang diyakininya, sehingga
pembenaran terhadap sesuatu yang diyakini, dapat dilacak keterkaitannya dengan
keseluruhan sistem yang diyakininya.
Ø Paham-paham empiris
Definisi-definisi tentang kebenaran Paham-paham mendasarkan diri atas
pelbagai segi pengalaman, dan biasanya menunjuk kepada pengalaman inderawi
seseorang.
Ø Pragmatisme
Semua penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu
konsekuensi. Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan
diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional (manfaat)
dalam kehidupan manusia.
Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
tersebut yang diperoleh manusia melalui akal, indera, dan lain sebagainya
mempunyai metode tersendiri dalam teori pengatahuan. Ada sejumlah teori untuk
mendapatkannya, antara lain [7]:
1. Metode Induktif
Metode Induktif yaitu suatu metode
yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu
pernyataan yang lebih umum. Dan menurut suatu pandangan yang luas diterima,
ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metode induktif, suatu inferensi bisa disebut
induktif bila bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran
mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyataan-pernyataan
universal.
2. Metode Deduktif
Metode Deduktif ialah suatu metode
yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu
sistem pernyataan yang runtut . Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif
ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada
penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut
mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain
dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan
yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August
Comte (1798-1857 M). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang
faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang
ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui
secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian
metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala
saja. Menurutnya perkembangan pemikiran manusia itu berlangsung dalam tiga
tahap yaitu : tahap teologis, tahap metafisis dan tahap positivistis.
4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya
keterbatasn indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga
obyek yang dihasilkanpun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu
kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat
intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan
oleh Al-Ghozali.
5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk
mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato
mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan
kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistemik tentang
ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
C. Aksiologi
Ilmu merupakan sesuatu yang paling
penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia
bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Setiap ilmu pengetahuan akan
menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakatSejarah
mencatat bahwa ilmu pengetahuan adalah merupakan satu alat yang sangat
diperlukan oleh umat manusia dalam situasi dan kondisi apapun ia berada sebab
dengan ilmu pengetahuan segala urusan akan dengan mudah dapat dilakukan dan
tujuan yang hendak dicapai akan dapat tercapai dalam waktu yang relatif
singkat.
Perkembangan ilmu pengatahuan yang
dibarengi dengan berkembangnya tekhnologi telah membawa dua dampak yang saling
berlawanan bagi umat manusia. Pada satu sisi memberikan dampak positif dan pada
sisi lain kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi ini telah membawa malapetaka
bagi umat manusia. Oleh karena itulah maka ilmu pengetahuan yang pada dasarnya
adalah bebas nilai, menjadi tanggungjawab bagi para ilmuan untuk mengisinya
dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan, sehingga ilmu pengetahuan dan
tekhnologi tersebut dapat mengabdi untuk kemanusiaan dan perbaikan
kesejahteraan ummat manusia, bukan justru untuk merusak dan membinasakan
kemanusian dan alam sekitar. Beberapa definisi tentang Aksiologi, sebagai
berikut[8] :
1. Aksiologi berasal
dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai danlogos yang
berarti teori. Jadi Aksiologi adalah teori tentang nilai.
2. Sedangkan arti
Aksiologi yang terdapat dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilimu
Sebuah Pengantar Populer, bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
3. Menurut Bramel,
aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan
moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kedua, esthetic
exepression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan
keindahan. Ketiga, sosio political life, yaitu kehidupan
sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
4. Dalam encyclopedia
of philosophy dijelaskan, Aksiologi disamakan dengan Value dan
Valuation. Ada tiga bentuk value and valuation :
? Nilai, digunakan
sebagai benda abstrak.
? Nilai sebagai benda
konkret.
? Nilai juga
digunakan sebagai kata kerja ekspresi ternilai, memberi nilai, dan dinilai.
Dari definisi-definisi mengenai
aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah
mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai
yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Aksiologi dipahami sebagai teori
nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah polemik tentang kebebasan
pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas
pengetahuan (value free).Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang didasarkan
pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value
bound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan
dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Sebuah keniscayaan, bahwa seorang
ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Nilai-nilai yang juga harus
melekat pada ilmuwan, sebagaimana juga dicirikan sebagai manusia modern[9]:
(1) Nilai Teori: Manusia
Modern Dalam Kaitannya Dengan Nilai Teori Dicirikan Oleh Cara Berpikir
Rasional, Orientasinya Pada Ilmu Dan Teknologi, Serta Terbuka Terhadap Ide-Ide
Dan Pengalaman Baru.
(2) Nilai Sosial : Dalam
Kaitannya Dengan Nilai Sosial, Manusia Modem Dicirikan Oleh Sikap
Individualistik, Menghargai Profesionalisasi, Menghargai Prestasi, Bersikap
Positif Terhadap Keluarga Kecil, Dan Menghargai Hak-Hak Asasi Perempuan;
(3) Nilai Ekonomi : Dalam
Kaitannya Dengan Nilai Ekonomi, Manusia Modem Dicirikan Oleh Tingkat
Produktivitas Yang Tinggi, Efisien Menghargai Waktu, Terorganisasikan Dalam
Kehidupannya, Dan Penuh Perhitungan;
(4) Nilai Pengambilan Keputusan:
Manusia Modern Dalam Kaitannya Dengan Nilai Ini Dicirikan Oleh Sikap Demokratis
Dalam Kehidupannya Bermasyarakat, Dan Keputusan Yang Diambil Berdasarkan Pada
Pertimbangan Pribadi;
(5) Nilai Agama: Dalam Hubungannya
Dengan Nilai Agama, Manusia Modem Dicirikan Oleh Sikapnya Yang Tidak
Fatalistik, Analitis Sebagai Lawan Dari Legalitas, Penalaran Sebagai Lawan Dari
Sikap Mistis (Suriasumantri, 1986, Semiawan,C 1993).
BAB III
KESIMPULAN
Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
adalah merupakan cabang-cabang dan dasar-dasar utama daripada Filsafat Ilmu,
oleh karena itu maka setiap berbicara tentang Filsafat ilmu pastilah salah
satunya membicarakan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
1. Ontologi adalah
berbicara tentang hakekat ataupun kenyataan (realita) sesuatu yang ada baik yang
jasmani maupun yang rohani. Untuk dapat melihat hakekat realitas maka ada dua
pendekatan utama, yaitu Pertama, Pendekatan Kuantitatif dan Kedua, Pendekatan
Kualitatif. Ontologi adalah lapangan penyelidikan kefilsafat paling kuno dalam
sejarah peradaban umat manusia.
2. Epistemologi adalah
membahas tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran yang berurusan dengan
hakikat dan lingkup pengetahuan. Adapun cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu metode induktif, deduktif,
positivistik, Kontemplatif dan Dialektis.
3. Aksiologi adalah
berbicara tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki
manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori
tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi haruslah diberi nilai-nilai agama dan
kemanusiaan. Oleh karena itu sangat tepat apa yang disebut dengan Islamisasi
Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar