Selasa, 02 Desember 2014

Makalah Tasawuf Akal, Nafs, Qalbu, dan Ruh Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Tasawuf”

PESAN PENULIS: Jangan murni copas jika untuk tugas kuliah, gunakan literatur ini untuk memperkaya karya ilmiah kamu dengan mencantumkan sumber situs ini!
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Allah Swt. Telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik penciptaan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia dikaruniakan beberapa potensi yang sangat istimewa yaitu akal, Qalbu, nafsu, dan Ruh. Keempat potensi tersebut akan mampu membuat manusia memiliki derajat yang tinggi dibandingkan dengan malaikat apabila digunakan dan dimanfaatkan dengan baik dan sesuai dengan petunjuk Allah Swt.
Namun, keempat potensi tersebut dalam waktu-waktu tertentu malah dapat menghinakan dan menjatuhkan derajat manusia ke tempat serendah-rendahnya tempat kembali. Hal ini dapat saja terjadi apabila manusia tersebut tidak pandai dan tidak bijak dalam menggunakan potensi-potensi tersebut dengan selalu meremehkan dan tidak memperdulikan peringatan serta aturan agama Islam yang telah banyak diserukan.
Maka demikian pentingnya sehingga pembahasan mengenai keempat potensi tersebut yaitu akal, qalbu, nafsu dan ruh merupakan suatu materi yang sangat perlu untuk dibedah dalam ranah ilmu pengetahuan dalam segi bentuk tasawuf. Dengan begitu, dapat memberikan pemahaman tentang keadaan yang sebenarnya pada diri manusia itu sendiri yang nantinya bisa memberikan kontriibusi terhadapat Mahasisiwa atau pembaca mengenai bagaimana bersikap lebih bijak terhadap tingkahlaku di dalam kehidupan sehari-hari.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apasajakah potensi yang dimiliki manusia?
2.      Apakah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya?
3.      Bagaimanakah bentuk sumbangsih dari potensi-potensi tersebut bagi kehidupan manusia?
4.      Apakah pengaruh dan akibat dari pemanfaatan potensi-potensi tersebut secara negatif bagi kehidupan manusia itu sendiri?


C.    Tujuan Pembahasan
Makalah ini bertujuan memberikan pemahaman dan pengertian tentang keempat potensi manusia yaitu akal, qalbu, nafsu dan ruh kepada para Mahasiswa atau pembaca sehingga mampu memberikan suatu sumbangsih dalam ilmu pengetahuan terutama dalam ranah ilmu Tasawuf. Maka memahami dengan benar melalui berbagai sumber bacaan yang lebih mengedepankan dasar utama umat Islam, Al-Quran dan As-Sunnah menjadi harapan dan doa serta tujuan utama pembahasan ini diangkat.
























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Akal
Manusia adalah  maklhuk yang sempurna di antara semua maklhuk ciptaan Allah lantaran manusia di beri akal pikiran, inilah yang membuat manusia ini begitu sempurna. Bangsa jin dan setan diberi akal pikiran namun tidak sesempurna manusia, tapi mereka di beri kelebihan di dalam jasadnya, jasad mereka lepas dari ruang dan waktu sedangkan kita manusia memiliki kelebihan akal pikiran yang sempurna bahkan akal pikirannya mampu menembus ruang dan waktu, namun jasad manusia tidak mampu untuk menembus ruang dan waktu.
Tumbuhan dan hewan, mereka tidak diberi akal pikiran dan jasad yang mampu menembus ruang dan waktu tersebut namun mereka di beri kelebihan roh, roh itu suci dan selamanya suci. Tumbuhan dan hewan bergerak berdasarkan  insting mereka karena rohnya yang suci dan mereka mampu merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah SWT.
Oleh sebab itu tumbuhan dan hewan tidak mempunyai dosa lantaran kesucian ruh tersebut, andaikata hewan membunuh hewan lain bahkan membunuh manusia, mereka tetap tidak berdosa karena mereka hanya mengikuti insting hewani mereka begitu juga dengan tumbuhan.
Pada Al Quran Allah berfirman tentang penggunaan akal ini yaitu terdapat di dalam surat Al An’am: 32
$tBur äo4quysø9$# !$uŠ÷R$!$# žwÎ) Ò=Ïès9 ×qôgs9ur ( â#¤$#s9ur äotÅzFy$# ׎öyz tûïÏ%©#Ïj9 tbqà)­Gtƒ 3 Ÿxsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÌËÈ  
Artinya: dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?
Maksudnya: kesenangan-kesenangan duniawi itu hanya sebentar dan tidak kekal. janganlah orang terperdaya dengan kesenangan-kesenangan dunia, serta lalai dari memperhatikan urusan akhirat.


Di antara ketiga (Ruh, Akal dan Jasad) yang paling kuat adalah ruh kemudian akal pikiran baru yang terakhir jasad. Lalu yang jadi pertannyaan, kalau memang Ruh yang lebih kuat kenapa manusia yang memiliki kelebihan akal pikiran menjadi maklhuk yang sempurna?.jawabanya mudah saja, dengan akal pikiran kita mampu mengendalikan ruh dan jasad.
Hal ini sudah terbukti secara ilmiah dan logis. Dalam ajaran Psikologi di ajarkan bagaimana cara mengoptimalkan akal pikiran manusia, sehingga manusia mampu menggunakan Hipnosis, Telephati dan sebagainya, hal itu bisa terjadi karena akal pikiran kita sudah bertemu dan berkomunikasi dengan ruh dan jasad kita. Kesadaran beragamapun merupakan salah satu hasil dari pengoptimalan akal pikiran. Manusia sering disebut dengan homoreligious (makhluk beragama)[1].
Dalam ajaran Islam di masa Nabi Adam As, sebenarnya sudah di ajarkan cara untuk mengoptimalkan akal pikiran. Semua orang-orang pilihan Allah seperti Rasul, Nabi, Wali dan lain sebagainya, beliau sudah mampu mengendalikan ketiga-tiganya. Contoh simple, Nabi Sulaiman As, beliau mampu berkomunikasi dengan hewan,tumbuhan dan juga jin.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?, karena Nabi Sulaiman As sudah mengendalikan ketiga hal tersebut (Ruh, Akal, dan Jasad). Beliau berkomunikasi dengan hewan dan tumbuhan menggunakan ruh, Karena Beliau sudah mempu mengendalikan Ruh dalam diri beliau sehingga masuk akal apabila ruh bertemu dengan ruh akan mampu berkomunikasi karena hewan dan tumbuhan di beri kelebihan Ruh oleh Allah seperti yang saya terangkan di atas. Begitu juga dengan jin, Nabi Sulaiman As menggunakan kemampuan jasadnya untuk berkomunikasi dengan jasad juga (jin). Dan masih banyak contoh-contoh lain seperti Nabi Sulaiman.
Dengan akal pikiran kita mampu mengendalikan 2 kemampuan maklhuk lain (jin,hewan dan tumbuhan). Dengan akal pikiran kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang benar. Dengan akal pikiran kita bisa mencapai Allah jauh lebih cepat dari kecepatan cahaya bahkan lebih. Apapun bisa kita lakukan dengan akal pikiran kita,kalau kita mau mempelajarinya lebih jauh lagi. Hal ini lah yang membuat manusia menjadi maklhuk yang sempurna di anatara maklhuk lain ciptaan Allah.
Allah memberi kemampuan yang sempurna ke pada manusia berupa akal pikiran, namun banyak manusia yang salah jalan dengan akal pikirannya. “ Dengan kemampuan yang besar disitu terletak tanggung jawab yang besar pula”. Memang benar akal pikiran kita mampu melakukan apapun dan tidak ada hal yang mustahil akan tetapi dengan akal pikiran kita juga bisa terjebak ke dalam kemaksiatan. Oleh sebab itu di butuh kan Ruh dan Jasad untuk mengatur keseimbangan akal pikiran kita agar kita semua tidak salah jalan.
Banyak sekali metode-metode untuk menseimbangkan ke 3 kemampuan itu. Dalam Psikologi 3 kemampuan tersebut menjadi Needs (Jasad),Ego(Akal Pikiran), dan Super Ego (Ruh). Ke 3nya harus seimbang untuk menjadi manusia seutuhnya. Dalam diri manusia terdapat sejumlah potensi untuk memberi arah kehidupan yaitu naluriah, inderawi, nalar dan agama[2]. Adapun metode islami, yaitu sholat. Kita terkadang meremehkan hakikatnya sholat dan kita sering menganggap sholat itu hanya kewajiban tanpa berfikir dulu.

B.     Qalbu
Pengetahuan yang diperoleh seseorang yang saleh dari Allah SWT melalui ilham dan tanpa dipelajari lebih dahulu melalui suatu jenjang pendidikan tertentu. Oleh sebab itu, ilmu tersebut bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan karunia Allah SWT.
Di dalam tasawuf dibedakan tiga jenis alat untuk komunikasi rohaniah, yakni kalbu (hati nurani) untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh untuk mencintai-Nya dan bagian yang paling dalam yakni sirr (rahasia) untuk musyahadah (menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT secara yakin sehingga tidak terjajah lagi oleh nafsu amarah) kepada-Nya.
Meski dianggap memiliki hubungan misterius dengan jantung secara jasmani, kalbu bukanlah daging atau darah, melainkan suatu benda halus yang mempunyai potensi untuk mengetahui esensi segala sesuatu. Lapisan dalam dari kalbu disebut roh; sedangkan bagian terdalam dinamakan sirr, kesemuanya itu secara umum disebut hati. Apabila ketiga organ tersebut  telah disucikan sesuci-sucinya dan telah dikosongkan dari segala hal yang buruk lalu diisi dengan dzikir yang mendalam, maka hati itu akan dapat mengetahui Tuhan.
Mengenai qalbu ini, Allah berfirman:
y#©9r&ur šú÷üt/ öNÍkÍ5qè=è% 4 öqs9 |Mø)xÿRr& $tB Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏHsd !$¨B |Møÿ©9r& šú÷üt/ óOÎgÎ/qè=è% £`Å6»s9ur ©!$# y#©9r& öNæhuZ÷t/ 4 ¼çm¯RÎ) îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÏÌÈ  
Artinya: dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman)[622]. walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana. (Al-Anfaal: 63)
[622] Penduduk Madinah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj selalu bermusuhan sebelum Nabi Muhammad s.a.w hijrah ke Medinah dan mereka masuk Islam, permusuhan itu hilang.
Qalbu dapat dianggap berpadanan dengan Ruh, yang memiliki aspek Rabbani sebagaimana aspek ciptaannya. Salah satu di atara simbol-simbol agung Ruh ialah matahari, yang merupakan hati alam semesta kita.[3]
Tuhan akan melimpahkan nur cahaya keilahian-Nya kepada hati yang suci ini. Hati seperti itu diumpamakan oleh kaum sufi dengan sebuah cermin. Apabila cermin tadi telah dibersihkan dari debu dan noda-noda yang mengotorinya, niscaya ia akan mengkilat, bersih dan bening. Pada saat itu cermin tersebut  akan dapat memantulkan gambar apa saya yang ada ihadapannya.
Demikian juga hati manusia. Apabila ia telah bersih, ia akan dapat memantulkan segala sesuatu yang datang dari Tuhan. Pengetahuan seperti itu disebut makrifat musyahadah atau ilmu laduni. Semakin tinggi makrifat seseorang semakin banyak pula ia mengetahui rahasi-rahasia Tuhan dan ia pun semakin dekat dengan Tuhan. Meskipun demikian, memperoleh makrifat atau ilmu laduni yang penuh dengan rahasia-rahasia ketuhanan tidaklah mungkin karena manusia serba terbatas, sedangkan ilmu Allah SWT tanpa batas, seperti dikatakan oleh Al-Junaid, seorang sufi modern, "Cangkir teh tidak
akan dapat menampung segala air yang ada di samudera."
Keberadaan dan status ilmu laduni bukan tanpa alasan. Para sufi merujuk keberadaan ilmu ini pada Alquran (QS Al Kahfi [18]:60-82) yang memaparkan beberapa episode tentang kisah Nabi Musa AS dan Khidir AS. Kisah tersebut dijadikan oleh para sufi sebagai alasan keberadaan dan status ilmu laduni.
Mereka memandang Khidir AS sebagai orang yang mempunyai lmu laduni dan Musa AS sebagai orang yang mempunyai pengetahuan biasa dan ilmu lahir. Ilmu tersebut dinamakan ilmu laduni karena di dalam surah al-Kahfi ayat 65 disebutkan: "wa'allamnahu min ladunna 'ilman.." (..dan yang telah Kami ajarkan kepadanya (Khidir AS) ilmu dari sisi Kami). Dengan demikian ilmu yang diterima langsung oleh hati manusia melalui ilham, iluminasi (penerangan) atau inspirasi dari sisi Tuhan disebut ilmu laduni.

C.    Nafs (Jiwa)
Mengenai nafs ini, Allah-pun berfirman:
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ   $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ   ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ  
7. dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
10. dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

Dalam bahasa Arab, nafs mempunyai banyak arti, dan salah satunya adalah jiwa.. Nafs dalam arti jiwa telah dibicarakan para ahli sejak kurun waktu yangsangat lama. Dan persoalan nafs telah dibahas dalam kajian filsafat, psikologi dan juga ilmu tasawuf. Menurut Ar-Razi manusia adalah ungkapan tetang fidik yang dikhususkan  dan ada didalam badan ini.[4] Dalam filsafat, pengertian jiwa diklasifikasi dengan bermacam­macamteori, antara lain:
1.      Teori yang memandang bahwa jiwa itu merupakan substansi yang berjeniskhusus, yang dilawankan dengan substansi materi, sehingga manusia dipandang memiliki jiwa dan raga.
2.      Teori yang memandang bahwa jiwa itu merupakan suatu jenis kemampuan,yakni semacam pelaku atau pengaruh dalam kegiatan­-kegiatan.
3.      Teori yang memandang jiwa semata­mata sebagai sejenis proses yang tampak  pada organisme­organisme hidup.
4.      Teori yang menyamakan pengertian jiwa dengan pengertian tingkah laku.
Dalam psikologi, jiwa lebih dihubungkan dengan tingkah laku sehingga yang diselidiki oleh psikologi­psikologi adalah perbuatan­perbuatan yangdipandang sebagai gejala­gejala dari jiwa. Teori­teori psikologi, baik psikoanalisa,Behaviorisme maupun Humanisme memandang jiwa sebagai suatu yang berada di belakang tingkah laku. Sedangkan di kalangan ahli tasawuf, nafs diartikan sesuatu yang melahirkan sifat tercela. Al­Ghazali (w. 1111 M.) misalnya menyebut nafs sebagai  pusat potensi marah dan syahwat pada manusia dan sebagai pangkal dari segala sifat tercela.
Pengertian ini antara lain dipahami dari hadits yang  artinya musuhmu yang paling berat adalah nafsumu yang ada di dua sisimu.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafs (nafsu) juga dipahami sebagai dorongan hati yang kuta untuk berbuat kurang baik, padahal dalam al­Qur’an nafs tidak selalu berkonotasi negatif. Kajian tentang nafs merupakan bagian dari kajian tentan hakikat manusiaitu sendiri. Manusia adalah makhluk yang bisa menempatkan dirinya menjadisubyek dan obyek sekaligus. Kajian tentang manusia selalu menarik, tercermin pada disiplin ilmu yang berkembang, baik ilmu murni maupun ilmu terapan.
Tentang manusia, al­Qur’an menggunakan tiga nama, yaitu menurut kebanyakan tafsir, manusia sebagai basyar lebih menunjukkan sifat lahiriah serta persamaannya dengan manusia sebagai satu keseluruhan sehingga Nabi pun disebut sebagai basyar, sama seperti yang lain, hanya saja beliau diberi wahyu oleh Tuhan, satu hal yangmembuatnya berbeda dengan basyar  yang lain, seperti dijelaskan dalam surat al­Kahfi/18: 110
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ׎|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqム¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_ötƒ uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ Ÿwur õ8ÎŽô³ç ÍoyŠ$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ   
Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Sedangkan nama insan yang berasal dari kata ‘uns yang berarti jinak, harmoni dan tampak, atau dari kata nasiya yang artinya lupa, atau dari nasa yanusu[5] yang artinya berguncang, menunjuk kepada manusia. Sifat orang yang mempunyai nafsul amarah antara lain mudah marah, sombong, takabbur, tamak, kikir , dengki dan hasud, sering memperturutkan keinginan syahwat secara berlebihan. Contohnya Seseorang dengan dorongan  sifat marahnya, benci untuk menghadapi musuh karena takut dirinya celaka, padahal menghadapi musuh lebih baiak untuk dirinya didunia dan diakhirat, sementara ia mencari muka dan damai kepada musuhnya, padahal sikap itu lebih buruk buat hidupnya baik didunia maupun diakhirat.[6]
Bagi manusia hanya ada dua pilihan , mengabdi pada kepentingan hawa nafsu atau mengabdi Pada Allah. Orang yang mengabdi pada kepentingan hawa hawa nafsu dia akan lupa kepada Allah, sebaliknya orang yang mengabdi pada Allah harus rela mengalahkan kepentingan hawa nafsunya. Ia adalah awwab, yaitu suka kembali kepada Allah dari kemaksiatan. Pulang kepada dzikrullah setelah melalaikannya.[7] Dua kepentingan yang berbeda ini tidak mungkin dijadikan satu . Seseorang tidak mungkin mengabdi kepada Allah sambil memuaskan kepentingan hawa nafsunya, Kita harus memilih satu diantara dua , mengabdi pada Allah atau pada kepentingan hawa nafsu.

D.    Ruh
1.      Sifat Ruh
(Dari tulisan Al-Ghazzali)
Bab ini mengenai tujuan Allah dalam bersabda: “Ketika Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku...” (15:29)
A)    Peniupan Ruh ke dalam Adam
“Menyempurnakan kejadian” terdiri dari perbuatan terhadap sasaran yang berkaitan dengan ruh. Sasaran itu adalah tanah liat dalam kasus Adam, dan biji dalam kasus anak-anak [bani Adam, bani-nya, anak cucunya, keturunannya]. Oleh karena itu, manusia menjadi sasaran transformasi [watak] dan pengaturan total. Tubuh diubah ke kondisi termurni yang dapat menerima ruh, dan dengan demikian juga tujuan Penciptaan. Ini mirip dengan sumbu dari lampu minyak, yang menjadi siap dinyalakan setelah dibasahi dengan minyak.
Peniupan (nafh) merupakan proses menyalakan ruh di dalam wadahnya. Maka, meniupkan merupakan sebab dari menyala. Tidak mungkin untuk memahami peniupan Allah Yang Maha Perkasa. Diri (nafs) yang dihasilkan, dijelaskan oleh peniupan (nafh), yaitu proses penyalaan dalam sumbu dari biji. Selain itu, terdapat cara dan hasil akhir dari peniupan. Cara, untuk tujuan menyalakan, merupakan transmisi cinta dan kehendak ke dalam seseorang penerima embusan dari Dia yang bertiup.
Alasan menyalakan cahaya ruh merupakan sifat yang ada pada Pelaku dan penderita yang menerima ruh. Sifat Pelaku adalah Kemurahan, yang menjadi sumber dari segala keberadaan. Ia menghias semua makhluk dengan memasukkan realita ke dalamnya. Sifat ini disebut Keperkasaan. Ini serupa dengan matahari, yang jika tidak ada penghalang, sinarnya menerangi segala sesuatu yang mampu menerima cahaya. Kemampuan menerima itu terdapat pada benda-benda yang berwarna, dan keragaman; udara yang tidak berwarna tidak dapat menerima.  Sifat Penerima adalah ‘moderat’ dan ‘homogen’ yang dihasilkan oleh proses-proses persiapan. Allah Yang Maha Perkasa bersabda: “Ketika Aku mempersiapkannya...
Sifat penerimaan mirip dengan sifat cermin. Cermin yang tidak dibersihkan dan dilap, tidak dapat menerima dan menghasilkan bayangan meskipun sesuatu bentuk berada dekat di depannya. Tetapi jika cermin itu bersih, bentuk benda itu muncul sebagai bayangan di dalamnya.
Begitu pula, jika keseragaman penerimaan terdapat di dalam biji, ruh menjelma di dalam biji tanpa perubahan pada sisi Pencipta. Tetapi ruh tidak diciptakan pada saat itu. Penciptaan sudah terlebih dahulu dilakukan, sebelum lokus diubah dalam proses homogenisasi.
Kelimpahan Kemurahan berarti bahwa Kemurahan Ilahi menyebabkan cahaya keberadaan bersinar dalam tiap sifat yang sanggup menerima Kemurahan itu. Ini disebut kelimpahan Derma. Tentu ini tidak dapat dipersamakan dengan penuangan air dari cangkir ke tangan seseorang, karena di sini air mencapai tangan setelah terpisah [dari sumbernya] meninggalkan cangkir. Allah Yang Maha Perkasa tidak dapat dibandingkan demikian.
B)    Kebenaran Ruh Merupakan Rahasia
Kebenaran ruh merupakan rahasia. Adapun Nabi tidak diijinkan untuk menerangkan ini kecuali kepada orang tertentu yang berhak. Kalau anda berhak, anda akan dapat mendengarkannya.
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ  
Artinya: dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". Pertanyaan seperti ini diajukan oleh kaum Yahudi kepada Nabi Muhammad Saw. yang bertujuan untuk mengetes dan menguji serta mencari-cari kelemahan beliau, yang kemudian dijawab olehnya secara tegas berdasarkan petunjuk wahyu Al-Quran.[8]



Ruh bukan sesuatu yang memasuki tubuh seperti air memasuki cangkir. Ruh juga bukan sesuatu yang memasuki kalbu seperti pewarna hitam yang menyerap ke dalam benda hitam, atau masuknya pengetahuan kepada orang berilmu. Sebaliknya, mereka yang tahu bersepakat bahwa ruh merupakan sesuatu yang tidak dapat dibagi. Seandainya dapat dibagi, satu bagian akan tahu, dan bagian lain tidak tahu, jadi keduanya akan tahu dan tidak tahu, in ini mustahil. Ini merupakan bukti bahwa ruh itu tidak dapat dibagi.
Mengapa Nabi tidak diperkenankan untuk membeberkan rahasia dan kebenaran tentang ruh? Karena ruh mempunyai sifat tertentu yang tidak dapat dimengerti. Pada masa itu, masyarakat dibagi atas orang biasa dan orang yang tahu. Orang-orang biasa [bahkan] tidak menyetujui apa yang disampaikan Nabi dan diperkenankan oleh Allah. Bagaimana mereka dapat mengerti keberadaan Ruh Manusia? Bahkan, beberapa orang biasa menyangkal Allah dengan memisahkan-Nya dari kebendaan dan pengejawantahan. Mereka pikir keberadaan Allah adalah tanda kebendaan-Nya. Orang-orang yang mampu berpikir lebih jauh dari orang-orang biasa segera menjauhkan Allah dari sifat kebendaan, tetapi mereka menyifatkan arah kepada Allah, karena kemampuan mental mereka tidak mampu memisahkan-Nya dari sifat kebendaan. Hanya dua mazhab yang mampu memisahkan Allah dari sifat kebendaan dan arah.
Dan mengapa rahasia tentang ruh disembunyikan? Karena mereka memustahilkan segala sifat selain yang Ilahi [yaitu mereka bertindak terlalu jauh ke arah Kerterpisahan atau Kekhususan (tanzih).] Saat kamu menyebutkan sifat-sifat [manusia] ini, mereka akan menuduhmu murtad dan berkata: “Ini pembandingan dengan Allah. Kamu [menerapkan kepada dirimu sendiri] sifat yang hanya dimiliki Allah. Kamu [tidak mengerti hakikat] sifat-sifat Allah.”
Apakah arti hubungan Ruh dengan Allah saat Dia bersabda: “Aku tiupkan padanya Ruh-Ku”? Ruh itu bebas dari ruang dan arah. Ia mampu melihat [mengenal] dan memahami semua ilmu pengetahuan. Hal ini tidak mungkin dimiliki benda lain. Karena itu, dikhususkan-Nya untuk Ruh dalam hubungannya dengan Allah.
C)    Alam Perintah dan Alam Permulaan
Kamu terdiri dari dua hal: tubuh dan ruh. Manusia adalah makhluk dalam dua alam. Ia berhubungan dengan Alam Khalikah (Permulaan, khalq) dengan tubuhnya, dan dengan Alam Kuasa atau Amar (Perintah, amr) dengan ruhnya. Ini dijelaskan pada kalimat: “Katakanlah: ... Ruh ada di bawah Amar (amr) Tuhan-ku” (17:85). Semua yang dapat diukur dan dihitung terdapat pada Alam Permulaan. Tetapi ruh dan hati tidak dapat diukur atau diungkapkan dalam satuan.
Ada pun Alam Kuasa dan Permulaan, artinya sbb: Telah diketahui bahwa segala sesuatu yang terjadi pada Ruh adalah dekrit, keputusan, dan ini termasuk penyatuan dengan tubuh dan sifat-sifatnya. Ini arti Alam Permulaan.
Permulaan ini merupakan pra-takdir Allah, bukan pengejawantahan-Nya dan bukan penciptaan-Nya. Dalam konteks ini, Permulaan berarti penentuan, tahap penetapan sesuatu sebelum dijadikan di dunia. Sesuatu yang tidak memiliki jumlah dan takdir disebut Perintah Ilahi; merupakan kemiripan dan kaitan dengan Allah. Manusia dan ruh malaikat, yang serupa dengan ini, disebut Alam Perintah.
Alam Perintah berisi sesuatu yang tidak memiliki jumlah, tetapi mempunyai ukuran dan dekrit dengan menyatu dengan Alam Permulaan, seperti benda eksternal yang berkaitan dengan indera, imajinasi, arah, ruang, diam dan masuk.
Jika keadaan ruh itu demikian, bukankah dalam hal ini sesuatu yang abadi dan bukan makhluk?
Kesalahan ini [hanya] dapat terjadi karena kebodohan dan tertipu. Jika seseorang berkata: “Tidak ditakdirkan dan berkuantitas berarti Ruh bukan makhluk, tidak dapat dibagi dan tidak mempunyai perluasan,” itu benar. Tapi jika ia berkata: “Ruh bukan makhluk dalam arti ia abadi dan bukan bersifat sementara,” itu salah. Beberapa orang percaya bahwa Ruh tidak berawal, bahwa ia pre-eksisten secara abadi, tetapi ini keliru. Yang lain keliru karena mengira bahwa Ruh merupakan tubuh, tetapi tidak dapat dibagi dan berlanjut.
Ruh bukan sifat, bukan tubuh; tidak makan tempat, tidak mempunyai perluasan dan arah; tidak terhubung dengan tubuh dan dunia; tetapi juga tidak terpisah dari mereka. Tubuh bukan tempat yang sejati dari Ruh; melainkan hanya merupakan alat. Ruh tidak terhubung dengan tubuh, dan [namun]  tidak jauh darinya. Ruh menggunakan tubuh untuk melayani tujuannya. Ruh bukan di dalam tubuh dan dunia, tetapi juga bukan diluarnya.
Semua itu merupakan sifat esensiil [Zat Ilahi] Allah. Sifat-sifat yang penting adalah: Hidup, Pengetahuan, Perkasa, Berkehendak, Mendengar, Melihat, dan Berbicara. Ruh juga  memiliki sifat-sifat itu, dan dalam hal ini mempunyai kelekatan dengan Allah.
D)    Percampuran Ruh di dalam Tubuh
Tindakan Allah: dipandang dari sudut kehendak, ini merupakan awal dari tindakan manusia sendiri. Efeknya mula-mula timbul di dalam kalbu. Lalu menyebar melalui ruh Hewani (penggerak), dalam bentuk “uap” halus di dalam rongga hati. Dari situ naik ke otak, kemudian disebarkan ke seluruh organ tubuh, termasuk ujung jari. Jari terpengaruh dan bergerak, menggerakkan pena, yang kemudian menggerakkan ujung pena.
Dari situ , apa yang akan ditulis tergambar dalam imajinasi. Jika seseorang tidak membentuk sesuatu dalam imajinasinya terlebih dahulu, tidak akan ada sesuatu yang tertulis di atas kertas. Ahli filsafat Yunani setengahnya berpendapat bahwa kehendak itu mereka dalam memilih, dan setengahnya berpendapat bahwa kehendak itu terpaksa manjalani suatu jalan yang tidak dapat dilampauinya.[9]
Maka hal ini akan berhubunga dengan hak yang dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, memperguanakan atau menuntut sesuatu.[10] Hak juga dapat berarti panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantaraan akalnya, perlawanan denga kekuasaan atau kekuatan fisik untuk mengakui wewenang yang ada pada pihak lain.[11]





















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Dalam pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki beberapa potensi yang membangun dari keadaan dari unsur manusianya itu sendiri yaitu akal, nafs atau jiwa, ruh, dan Qalbu.
2.      Yang membedakan manusiadengan makhluk lain yag sering dibahas adalah kepemilikan akal sebagai karunia dari Allah Swt. dengan akal manusia dapat memikirkan tentang segala hal dikehidupan ini.
3.      Sumbangsihnya, kesemuanya tersebut akan membawa manusia ketingkat derajat yang tertinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya apabila ia mampu dan berkeinginan menggunakan potensi tersebut dengan baik sesuai yang diajarkan Allah lewat rasul-Nya, Nabi Muhammad Saw.
4.      Namun sebaliknya, bila keempat hal diatas digunakan dan dimanfaatkan tanpa aturan sesuai kehendak dari manusianya tadi dan cendrung mengabaikan aturan dan peringatan Allah dan Rasul-Nya, maka sangat mungkin itu akan membawa mansia djatuh kedalam keadaan seta nasib yang merugi. Sehingga pada akhirnya mendapatkan tempat seburuk-burunya tempat kembali, yaitu neraka Jahannam.
B.     Kritik dan Saran
Dalam berusaha melengkapi makalah ini, tentu ada sesuatu yang kurang dan kami sebagai penulis baik dari pembahasan ataupun dari segi tulisan menyadari akan hal demikian. Maka dari itu kami akan berusaha lebih baik dengan selalu mengedapankan sumber-sumber yang lebih layak sebagai reverensi.
Kami sangatlah mengharapkan masukan baik berupa kritik ataupun saran sehingga dapat menjadi sebuah instropeksi dari karya kami juga sebagai semangat dan landasan baru untuk terus berinovasi dalam berkarya.
“Tiada ada yang sempurna, bila ketidak sempurnaan tak pernah ditemui dan disadari.”
Walaupun demikian, kami sangat berharap karya ini dapat menjadi salah satu acuan dalam pembelajaran terutama sebagai reverensi untuk dalam mata kuliah Tasawuf.





























DAFTAR PUSTAKA

                              
Arifin, Syamsul, Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2008.
Lings, Martin, “what Is Sufism?” Membedah Tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, jakarta, 1987.
Al-Jauziyyah, Ibnul Qayim, Menjelajah Alam Roh.., Pustaka Arafah,  Solo, 2004
Ibn Manzhur, Lisan al­Arab, Kairo: dar al­Ma’arif, tth, Jilid I, hlm. 147­150
Qayim, imam Ibnul, Pesan-pesan Ibnul Qayim, Gema Insani Press, Jakarta, 1998,
Syukur, Amir, Tasawuf Konstektual Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Mustafa, H.A., Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2010.
Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers,  Jakarta, 2010.
Zubair, Ahmad Charris, Kuliah Akhlak, Rajawali Pers, Jakarta, 1990, cet.II, hlm.59.








[1] ) Arifin, Syamsul, Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm. 83
[2]) Ibid., hlm. 145
[3] ) Lings, Martin, “what Is Sufism?” Membedah Tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, jakarta, 1987, hlm. 43
[4] ) Al-Jauziyyah, Ibnul Qayim, Menjelajah Alam Roh.., Pustaka Arafah,  Solo, 2004
[5] ) Ibn Manzhur, Lisan al­Arab, Kairo: dar al­Ma’arif, tth, Jilid I, hlm. 147­150
[6] ) Qayim, imam Ibnul, Pesan-pesan Ibnul Qayim, Gema Insani Press, Jakarta, 1998, hlm. 81
[7] ) Ibid., hlm. 20
[8] ) Syukur, Amir, Tasawuf Konstektual Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 315
[9] ) Mustafa, H.A., Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 107
[10] ) Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers,  Jakarta, 2010, hlm.137
[11] ) Zubair, Ahmad Charris, Kuliah Akhlak, Rajawali Pers, Jakarta, 1990, cet.II, hlm.59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar